Selasa, 16 April 2013

Kebijakan Memenangkan Globalisasi




Globalisasi adalah proses menyatunya bangsa-bangsa dalam lingkup perdagangan (ekonomi). Tetapi Mansur Fakih menegaskan bahwa globalisasi hanyalah fase dari kapitalisme. Model ini sudah dibahas oleh Adam Smith dan para ekonom klasik dengan basis laizzes faire. Meskipun globalisasi dikampanyekan sebagai era masa depan, yakni suatu era yang menjanjikan 'pertumbuhan' ekonomi secara global dan akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua, globalisasi sesungguhnya adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya . 


Globalisasi yang mengharuskan penyesuaian struktural menjadikan Indonesia, yang dikuasai oleh para ekonom fundamentalis pasar, terburu-buru melakukan penyesuaian tersebut. Tanpa timbang-timbang mereka sedang masuk ke arena pasar bebas yang merupakan medan tarung besar yang diisi oleh para petarung-petarung (MNC dan TNC) raksasa yang memiliki kemampuan raksasa pula. Mereka tidak mempertimbangkan kualitas ketahanan ekonomi kita yang tidak bisa sebanding dengan kekuatan ekonomi korporasi raksasa yang didukung oleh negara-negara kaya. Tidak bisa kita bayangkan jika ekonomi kita yang serupa kucing dipertarungkan dengan Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa yang mapan yang serupa harimau. Sama dengan mempertarungkan petamina, perusahaan perminyakan nasional, dengan Exxon Mobile, British Petroleum atau Cevron, dll. Atau misalnya mempertarungkan petani-petani kita yang informalis dengan perusahaan benih pertanian bernama Monsanto. Petani kita jadi semakin terpinggir dan miskin karena tidak adanya proteksi kebijakan bagi para petani kita di pasar lokal. Akibatnya, modal ekonomi kita yang didukung oleh sumberdaya besar tidak mampu kita manfaatkan. Bukan karena kita tidak punya kemampuan, tetapi lebih pada sikap politik para ekonom kita yang lebih jatuh hati (membuta) pada ekonomi neoliberal yang menjadi 'basis ilmu' globalisasi. 


Indonesia yang tidak bisa mengambil sikap kritis terhadap glbalisasi ini akhirnya tidak punya pilihan lain selain harus masuk dalam pusaran ekonomi global ini. Globalisasi akhirnya menjadi pilihan satu-satunya paradigma pembangunan ekonomi Indonesia. Ekonom pro pasar dari kelompok mafia berkley yang terus bercokol di kementrian bidang ekonomi ini menunjukkan niat 'baik' untuk masuk ke dalam anjuran globalisasi. Dengan begini mau tidak mau harus mengikuti prasyarat globalisasi itu. Tentunya dengan apa yang dikenal sebagai anjuran penyesuaian struktural atau Struktural Adjusmen Program (SAPs). SAPs ini mencakup 3 hal pokok yang dijadikan landasan, yaitu Deregulasi, Privatisasi dan Liberalisasi, serta 5 pilar utamanya yang terdiri dari:

1. Mengurangi biaya pemerintah secara radikal untuk mengontrol inflasi dan mengurangi kebutuhan modal dari luar negeri. Dalam prakteknya ini diterjemahkan dengan pemotongan anggaran kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan.

2. Membuka pasar impor seluas-luasnya dan menghilangkan hambatan investasi asing, mendorong industri local dan industri yang lebih efisien dengan memacunya untuk berkompetisi dengan pihak asing
3. Memprivatisasi perusahaan Negara dan meregulasi aturan-aturan yang ada agar sumberdaya produktif bisa digunakan secara efisien berdasarkan mekanisme pasar

4. Devaluasi mata uang agar ekspor lebih kompetitif

5. Memotong upah untuk melancarkan mobilitas modal lokal dan asing 

Sumber :

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0110/17/opi02.html
http://pps.fisip.unpad.ac.id/?q=node/111
Majalah Basis mei-juni 2004.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar