Globalisasi adalah
proses menyatunya bangsa-bangsa dalam lingkup perdagangan (ekonomi). Tetapi
Mansur Fakih menegaskan bahwa globalisasi hanyalah fase dari kapitalisme. Model
ini sudah dibahas oleh Adam Smith dan para ekonom klasik dengan basis laizzes
faire. Meskipun globalisasi dikampanyekan sebagai era masa depan, yakni suatu
era yang menjanjikan 'pertumbuhan' ekonomi secara global dan akan mendatangkan
kemakmuran global bagi semua, globalisasi sesungguhnya adalah kelanjutan dari
kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya .
Globalisasi yang
mengharuskan penyesuaian struktural menjadikan Indonesia, yang dikuasai oleh
para ekonom fundamentalis pasar, terburu-buru melakukan penyesuaian tersebut.
Tanpa timbang-timbang mereka sedang masuk ke arena pasar bebas yang merupakan
medan tarung besar yang diisi oleh para petarung-petarung (MNC dan TNC) raksasa
yang memiliki kemampuan raksasa pula. Mereka tidak mempertimbangkan kualitas
ketahanan ekonomi kita yang tidak bisa sebanding dengan kekuatan ekonomi
korporasi raksasa yang didukung oleh negara-negara kaya. Tidak bisa kita
bayangkan jika ekonomi kita yang serupa kucing dipertarungkan dengan Amerika,
Jepang, dan negara-negara Eropa yang mapan yang serupa harimau. Sama dengan
mempertarungkan petamina, perusahaan perminyakan nasional, dengan Exxon Mobile,
British Petroleum atau Cevron, dll. Atau misalnya mempertarungkan petani-petani
kita yang informalis dengan perusahaan benih pertanian bernama Monsanto. Petani
kita jadi semakin terpinggir dan miskin karena tidak adanya proteksi kebijakan
bagi para petani kita di pasar lokal. Akibatnya, modal ekonomi kita yang
didukung oleh sumberdaya besar tidak mampu kita manfaatkan. Bukan karena kita
tidak punya kemampuan, tetapi lebih pada sikap politik para ekonom kita yang
lebih jatuh hati (membuta) pada ekonomi neoliberal yang menjadi 'basis ilmu'
globalisasi.
Indonesia yang
tidak bisa mengambil sikap kritis terhadap glbalisasi ini akhirnya tidak punya
pilihan lain selain harus masuk dalam pusaran ekonomi global ini. Globalisasi
akhirnya menjadi pilihan satu-satunya paradigma pembangunan ekonomi Indonesia.
Ekonom pro pasar dari kelompok mafia berkley yang terus bercokol di kementrian
bidang ekonomi ini menunjukkan niat 'baik' untuk masuk ke dalam anjuran
globalisasi. Dengan begini mau tidak mau harus mengikuti prasyarat globalisasi
itu. Tentunya dengan apa yang dikenal sebagai anjuran penyesuaian struktural
atau Struktural Adjusmen Program (SAPs). SAPs ini mencakup 3 hal pokok yang
dijadikan landasan, yaitu Deregulasi, Privatisasi dan Liberalisasi, serta 5
pilar utamanya yang terdiri dari:
1. Mengurangi biaya pemerintah secara radikal untuk mengontrol inflasi dan mengurangi kebutuhan modal dari luar negeri. Dalam prakteknya ini diterjemahkan dengan pemotongan anggaran kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan.
2. Membuka pasar impor seluas-luasnya dan menghilangkan hambatan investasi asing, mendorong industri local dan industri yang lebih efisien dengan memacunya untuk berkompetisi dengan pihak asing
3. Memprivatisasi perusahaan Negara dan meregulasi aturan-aturan yang ada agar sumberdaya produktif bisa digunakan secara efisien berdasarkan mekanisme pasar
4. Devaluasi mata uang agar ekspor lebih kompetitif
5. Memotong upah untuk melancarkan mobilitas modal lokal dan asing
Sumber :
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0110/17/opi02.html
http://pps.fisip.unpad.ac.id/?q=node/111
Majalah Basis mei-juni 2004.
http://pps.fisip.unpad.ac.id/?q=node/111
Majalah Basis mei-juni 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar