BAB EMPAT
Strategi Implementasi TQS
Pengertian, Fokus
dan Manfaat Total Quality Service
Total Quality
Service (TQS) didefinisikan sebagai system manajemen strategi dan integeratif
yang melibatkan semua manajer dan karyawan, serta menggunakan metode-metode
kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan
proses-proses organisasi, agar dapat memenuhi dan melebihi kebutuhan, keinginan
dan harapan pelanggan. Strategi ini dirangkum sesuai dengan:
STRATEGI :
Pernyataan yang jelas dan dikomunikasikan dengan baik mengenai posisi dan
sasaran organisasi dalam hal layanan pelanggan.
SISTEM :
Program prosedur dan sumberdaya organisasi yang dirancang untuk mendorong,
menyampaikan dan menilai jasa/layanan yang nyaman dan berkualitas bagi
pelanggan.
SUMBERDAYA MANUSIA :
Karyawan di semua posisi yang memiliki kapasitas dan hasrat untuk responsif
terhadap kebutuhan pelanggan.
TUJUAN KESELURUHAN :
Mewujudkan kepuasan pelanggan,
memberikan tanggung jawab kepada setiap orang dan melakukan perbaikan
berkesinambungan.
TQS berfokus pada lima bidang berikut:
1.
Fokus pada pelanggan (customer sevice)
Identifikasi
pelanggan merupakan prioritas utama. Apabila sudah dilakukan maka langkah
selanjutnya adalah mengidentifikasi kebutuhan, keinginan, dan harapan mereka.
2. Keterlibatan
total (total involvement)
Keterlibatan total
mengandung arti komitmen total. Manajemen harus memberikan peluang perbaikan
kualitas bagi semua karyawan dan menunjukkan kualitas bagi semua karyawan
dan menunjukkan kualitas kepemimpinan
yang bisa memberikan insiprasi positif bagi organisasi yang dipimpinnya.
3. Pengukuran
Kebutuhan pokok
adalah menyusun ukuran-ukuran dasar, baik internal maupun eksternal bagi
organisasi dan pelanggan.
Unsur-unsur sistem pengukuran tersebut terdiri atas:
·
Menyusun ukuran proses dan hasil,
·
Mengidentifikasi output dari proses-proses kerja kritis dan
mengukur kesesuainnya dengan tuntutan
pelanggan,
·
Mengkoreksi penyimpangan dan meningkatkan kinerja.
4. Dukungan
sistematis
Manajemen
bertanggung jawab dalam mengelola proses kualitas dengan cara:
·
Membangun infrastruktur kualitas yang dikaitkan dengan struktur
manajemen internal
·
Menghubungkan kualitas dengan sistem manajemen yang ada, seperti:
§ Perencanaan
strategi
§ Manajemen
kinerja
§ Pengakuan,
penghargaan, dan promosi karyawan
§ Komunikasi
5. Perbaikan
berkisambungan
Setiap orang bertanggung jawab untuk:
·
Memandang semua pekerjaan sebagai satu proses
·
Mengantisipasi perubahan kebutuhan, keinginan dan harapan
pelanggan
·
Melakukan perbaikan incremental
·
Mengurangi waktu siklus
·
Mendorong dan dengan senang hati menerima umpan balik-tanpa rasa
takut atau khawatir
PERUBAHAN dan PERGESERAN PARADIGMA
Bagaimana menerapkan sistem kualitas dalam industri jasa? Proses implementasi
tersebut dimulai dengan melakukan pelbagai perubahan dalam struktur, tanggung
jawab, prosedur, proses dan sumberdaya organisasi saat ini.
Setiap perubahan(apapun bentuknya dan sekalipun mengarah pada
kebaikan bersama) belum tentu ditanggapi secara positif. Orang cenderung ingin
mempertahankan status quo, sehingga tidak jarang mereka menolak perubahan
(resist to change).
Paradigma merupakan asumsi atau anggapan yang memungkinkan
seseorang menciptakan realitasnya sendiri. Paradigma memiliki pengaruh yang
sangat kuat dan membantu menciptakan kondisi status quo. Di lain pihak, paradigma
juga berkontribusi terhadap keusangan ide dan organisasi.
Untuk mendukung keberhasilan implementasi perubahan, paling tidak
perlu disadari bahwa harus ada ketidakpuasan terhadap kondisi atau situasi saat
ini.
Tiga komponen yang menentukan transformasi kualitas secara
positif dalam organisasi jasa, yakni
nilai-niali organisasi, struktur organisasi dan style organisasi. Ketiga
komponen ini harus dievaluasi secara cermat berdasarkan dua sudut pandang yaitu
situasi saat ini dan situasi yang seharusnya.
MODEL
PENYEMPURNAAN BERKISAMBUNGAN
Saat ini banyak model yang dikembangkan sebagai pedoman untuk
melakukan penyempurnaan berkisambungan. Salah satu model yang bersifat
umum/generic adalah pendekatan enam langkah berikut:
1.
Mengidentifikasi jasa/layanan bernilai tambah yang diberikan
kepada pelanggan.
2. Mengidentifikasi
pelanggan dan menentukan harapannya seteliti mungkin.
3. Menidentifikasi
kebutuhan kritis organisasi yang memungkinkannya untuk memuaskan pelanggan.
4. Menentukan
proses untuk melaksanakan pekerjaan.
5. Mencermati
kekeliruan proses dan mengeliminasi usaha-usaha yang sia-sia.
6. Menjamin
perbaikan berkesinambungan dengan jalan mendukung umpan balik terus menerus.
Organisasi jasa dapat memanfaatkan siklus PDCA (Plan, Do, Check,
Act) untuk memfokuskan usahanya pada proses yang tepat dengan rencana harapan
yang tepat. Siklus PDCA bisa diterapkan untuk menangani hal-hal berikut:
1.
Merencanakan perbaikan dan pengumpulan data secara
berkesinambungan (PLAN)
2. Melakukan
perbaikan, pengumpulan data dan analisis (DO)
3. Memeriksa
dan mempelajari hasil-hasil yang dicapai (CHECK)
4. Bertindak
atas dasar hasil evaluasi dan melanjutkan perbaikan proses (ACT)
IMPLEMENTASI TQS: PENDEKATAN MANAJEMEN PROYEK
Agar program
kualitas bisa diimplementasikan secara sukses, maka pendekatan manajemen proyek
hasrus diadakan pada seluruh bagian organisasi. Manajemen proyek merupakan
salah satu metode yang efektif, karena melibatkan sumberdaya manusia lintas
fungsional dan multidisiplin dalam pelaksanaan proyek. Fokus utamanya lebih
ditekankan pada implementasi kualitas ketimbang konsep.
Karakteristik-karakteristik yang dikembangkan TQS dan dapat
difasilitasi oleh manajemen proyek:
1.
Visi, misi, sasaran dan tujuan bersama diantara manajemen puncak,
madya, lini pertama dan operator.
2. Manajemen
mempraktikkan kepemimpinan visionaris
3. Semua
insane dalam organanisasi memanfaatkan sumber daya secara efisien.
4. Batas-batas
kemampuan manajemen ditetapkan dan diatur dangan baik.
5. Manajemen
bersikap fleksibel dalam menanggapi secara
cepat dan efektif setiap perubahan kondisi, permintaan dan peluang.
6. Manajemen
mendorong tumbuhnya kerja sama tim dan memimpin berdasarkan contoh positif.
7. Organisasi
berfokus pada upaya penciptaan nilai tambah bagi pelanggan.
8. Manajemen
mengembangkan proses formal yang memungkinkannya untuk selalu siap beradaptasi
dengan perubahan kebutuhan, permintaan dan kondisi internal maupun eksternal.
9. Organisasi
mengutamakan budaya belajar, berkembang, berprestasi dan orientasi saling
mendukung dalam lingkungan kerja.
10.
Manajemen menerapkan system penilaian kinerja yang efektif dimana
fokusnya adalah pada tugas dan tujuan, bukan pada kepribadian.
Bagaimana peranan manajemen proyek dalam mendukung proses
implementasi TQS? Pertama,
berdasarkan definisinya, manajemen proyek berfokus pada proyek. Proyek
merupakan suatu usaha yang memiliki awal dan akhir, serta dilaksanakan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam biaya, jadwal, dan sasaran
kualitas yang spesifik.
Kedua, perbedaan antara manajemen proyek dengan prinsip manajemen
lainnya. Paling tidak ada dua perbedaan pokok, yaitu jangka waktu dan kebutuhan
akan sumberdaya. Aspek ketiga,
menyangkut apa dan bagaimana manajemen proyek dapat memfasilitasi implementasi
TQS.
Empat fase yang mengikuti dan menjamin keberhasilan proses
implementasi:
1.
Mendefinisikan proyek
2. Merencanakan
proyek
3. Implementasi
rencana
4. Merampungkan
proyek
IMPLEMENTASI TQS : PENDEKATAN ISO 9000
Standar ISO memberikan
pedoman mengenai struktur dan elemen sisitem kualitas yang lengkap, serta standarisasi
kualitas di seluruh dunia. Tiga prinsip dasar berkaitan dengan ISO 9000 yang
perlu dipersiapkan secara matang agar perusahaan dapat mencapai sasaran
perbaikan berkesinambungan:
1.
Menyusun tujuan dan sasaran penting.
Manajemen harus mengidentifikasi alas an keterterikannya pada
ISO.
2. Merumuskan
tindakan melalui kebijakan, program dan prosedur untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
3. Memahami
sumber penolakkan san menetralisirnya.
Setiap perubahan umumnya tidak terlepas dari adanya
resistensi/penolakan.
Secara
garis besar, model implementasi ISO didasarkan pada fase-fase berikut:
1.
Fase
Pertama: Komitmen Manajemen
·
Meraih komitmen
·
Menyusun strategi
2.
Fase
kedua: membangun Struktur
·
Menyusun organisasi
·
Melatih para karyawan
3.
Fase
ketiga: Implementasi Prosedur dan Dokomentasi Sistem Kualitas
·
Menidentifikasi semua prosedur, kebijakan dan praktik yang
berkaitan dengan pemenuhan ISO 9000
·
Mempersiapkan dokumentasi, meliputi manual kualitas; prosedur
operasi; instruktur kerja; serta formulir, catatan, buku dan file.
4.
Fase
keempat: berhubungan dengan Registar.
·
Penilaian awal
·
Kunjungan langsung (audit)
·
Registrasi atau tindakan korektif
·
Tindak lanjut
Peralihan
dari ISO ke TQS menuntut perluasan semua pedoman dasar kualitas dalam ISO dan
inisiatif aktif dalam prinsip-prinsip:
·
Pengukuran
·
Kepuasan pelanggan melalui upaya mendengarkan secara aktif
kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan
·
Adaptasi terus menerus terhadap perubahan kondisi pasar,
·
Berusaha menjadi yang terbaik,
·
Sikap yang dipandu pasar (market-driven attitude).
IMPLEMENTASI
TQS: PENDEKATAN DEMING
Deming merupakan bapak gerakan Total Quality Management.
Pemikirannya banyak berpengaruh terhadap perusahaan-perusahaan manufaktur dan
jasa diberbagai belahan dunia. Kontribusinya yang paling besar adalah Deming
Cycle atau dikenal pula dengan siklus PDCA.
Deming’s
Fourteen Points merupakan rangkuman dari keseluruhan pandangan W. Edwards
deming terhadap apa yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan dalam rangka
melakukan transisi positif dari bisnis sebagaimana biasanya menjadi bisnis
berkualitas tingkat dunia. Deming’s Fourteen Points ini bisa berlaku secara
universal, baik untuk organisasi kecil maupun besar; industri manufaktur maupun
jasa. Keempat belas points ini meliputi:
1.
Ciptakan kegiatan tujuan demi perbaikan jasa.
Tujuan dan filosofi organisasi harus ditetapkan dengan memenuhi
persyaratan:
·
Mencakup keyakinan dan nilai-nilai organisasi dalam jangka pendek
dan jangka panjang,
·
Mempermudah pengambilan keputusan jangka panjang,
·
Menyusun pernyataan misi dan filosofi operasional yang dapat
dipahami dan dilaksanakan setiap orang dalam organisasi.
2.
Adopsilah
filosofi baru.
Hambatan-hambatan yang mungkin dijumpai dalam upaya
merealisasikan point ini adalah:
·
Masih terus mengutamakan aspek kuantitas, padahal sudah beralih
ke filosofi kualitas,
·
Ketidakmampuan mendefinisikan kualitas secara tepat,
·
Kurang memperhatikan umpan balik dari pelanggan,
·
Terlampau banyak kendala yang tidak teridentifikasi,
·
Kekhawatiran dan ketakutan manajemen madya akan perubahan,
·
Selalu menyalahkan pemasok atau kualitas yang rendah.
3.
Hentikan
ketergantungan pada inspeksi untuk mewujudkan kualitas.
Hambatan-hambatan yang bisa dijumpai dalam upaya mewujudkan point
ketiga ini adalah:
·
Mengabaikan kebutuhan akan ahli statistik,
·
Kurangnya komunikasi dengan pemasok,
·
Tetap bertahan menggunakan acceptance sampling,
4.
Hentikan
praktik menghargai bisnis semata-mata atas dasar harga; jadikanlah pemasok
sebagai mitra kerja.
Hambatan yang bisa dihadapi dalam rangka mewujudkan point keempat
Deming ini, yakni:
·
Manajemen senior menolak system single sourcing,
·
Tidak menyediakan pelatihan dan penyeliaan yang memadai bagi agen pembelian,
·
Agen pembelian menolak peranan barunya,
·
Manajemen mengirimkan pesan ganda mengenai aturan pembelian,
·
Terus-terusan menggunakan kontrak bertipe assignment of risk.
5.
Perbaiki
secara konstan setiap proses perencanaan, produksi dan pelayanan.
Faktor yang mungkin menghambat kesuksesaan perusahaan:
·
Berupaya mencapai penyempurnaan terus menerus hanya melalui
otomatis dan investasi modal,
·
Politisasi terhadap perubahan yang dibutuhkan bagi perbaikan
terus menerus,
·
Memisahkan pekerjaan sesungguhnya dengan metode statistik,
·
Penggunaan metode statistik dalam skala besar secara gegabah oleh
para pekerja,
6.
Lembagakan
pelatihan dan pelatihan ulang di tempat kerja.
Pelatihan yang tepat adalah pelatihan yang bisa:
a.
Meningkatkan kesadaran dan penyempurnaan kualitas, karena:
·
Setiap orang memahami pekerjaannya,
·
Setiap orang dikendalikan secara statistik,
·
Setiap orang melakukan penyempurnaan secara terus menerus.
b.
Mengidentifikasi apakah proses tertentu sudah kapabel atau belum.
c.
Menawarkan keamanan kepada karyawan kepada karyawan melalui:
·
Eliminasi rasa takut,
·
Eliminasi gossip atau kabar angin,
·
Mengamankan pekerjaan.
d.
Menghilangkan semua hambatan yang ada diantara para karyawan,
e.
Menanamkan atau menciptakan rasa bangga terhadap hasil kerja,
f.
Mengurangi tingkat stress.
7.
Melembagakan
kepemimpinan bagi penyempurnaan sistem.
Hambatan yang mungkin dijumpai jika organisasi jasa berupaya:
·
Keyakinan yang berlebihan bahwa lulusan manajemen dari perguruan
tinggi pasti bisa langsung mengelola sumberdaya manusia dengan baik,
·
Mengabaikan perhatian pada rantai komodo,
·
Menggunakan statistika sebagai alat politis,
·
Tidak memperlakukan pekerja sebagai manusia seutuhnya.
8.
Menghilangkan
rasa takut.
Hambatan yang mungkin dijumpai jika organisasi jasa berupaya:
·
Mengabaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan sumber daya
manusia,
·
Merasa yakin bahwa ‘rasa takut’ telah dihilangkan, pada hal masih
tetap ada,
·
Tidak melakukan perencanaan untuk mengantisipasi ‘rasa takut’
baru yang mungkin dimunculkan oleh filosofi baru.
9.
Menyingkirkan
rintangan (dinding pemisah) antar
departemen.
Menghilangkan rintangan, mungkin dijumpai beberapa kendala:
·
Rasa takut akan kehilangan rantai komando,
·
Tidakmau menerima kenyataan bahwa ada rintangan dalam organisasi,
·
Keengganan meniadakan fasilitas khusus dan/atau hak-hak istimewa
tertentu,
·
Tetap mempertahankan sikap arogansi departemental, dimana
menganggap departemennya yang paling baik dalam organisasi,
·
Gagal menghilangkan ‘rasa takut’ karyawan.
10. Meniadakan slogan, desakan dan target bagi tenaga kerja.
Biasanya para karyawan dibebani dengan berbagai macam sasarn atau
target kuantitatif yang sebenarnya ditetapkan secara arbitrary. Hal ini
menyebabkan para karyawan tertekan dan frustasi.
11. Mengeliminasi kuota-kuota numeric bagi para karyawan dan sasaran
numeric bagi manajemen.
Kuota dan sasaran
numerik kerapkali menimbulkan masalah seperti kurangnya perhatian terhadap
kualitas, tingkat stress dan frustasi yang tinggi, kekecewaan terjadi
dimana-mana dan sebagainya.
12. Menghilangkan penghalang yang dapat ‘merampok’ kebanggaan para
karyawan atas keahliannya.
Beberarapa kendala
yang mungkin dihadapi dalam implementasi:
·
Gap yang sangat besar antara manajemen senior dan karyawan,
·
Upaya menanamkan kebanggan dilakukan dengan metode yang tidak
tepat,
·
Tidak menibdaklanjuti saran-saran karyawan.
13. Giatkan program pendidikan dan perbaikan diri bagi setiap orang.
Hambatan potensial
yang mungkin dijumpai dalam upaya melembagakan program pendidikan dan
perbaikan:
·
Keengganan pihak manajemen untuk terlibat dalam pelatihan,
·
Miskonsepsi manajemen terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk pelatihan ulang,
·
Kurangnya sumber daya internal untuk pelatihan.
14. Lakukan transformasi pekerjaan setiap orang dan siapkan mereka
untuk mengerjakannya.
Kendala potensial
yang bisa menghambat efektivitas:
·
Kurangnya keajengan tujuan,
·
Harapan atas hasil-hasil segera dan instan,
·
Mengabaikan peran ahli statistik yang kompeten,
·
Terlalu sibuk dengan aktivitas memberikan umpan balik.
·
Mengabaikan pentingnya proses pelaporan karena dipandang tidak
praktis.
BAB LIMA
Karakteristik dan Manfaat TIM
Kerja sama tim
merupakansalah satu unsur fundamental dalam Total
Qualty Service. Tim merupakan sekelompok orang untuk bekerja sama untuk
tujuan bersama. Faktor-faktor yang mendasari perlunya dibentuk tim-tim khusus
dalam suatu perusahaan adalah:
·
Pemikiran dari dua orang atau lebih cenderung lebih baik
·
Konsep sinergi [ 1 + 1 > 2 ], yaitu bahwa hasil keseluruhan
(tim) jauh lebih baik/besar
·
Anggota tim saling mengenal dan saling percaya, sehingga dapat
saling membantu
·
Kerja sama tim dapat menyebabkan komunikasi terbina dengan baik.
Tidak semua
kumpulan/kelompok orang dapat dikatakan sebagai tim. Agar dapaat dipandang
sebagai tim, maka sekumpulan orang tertentu harus memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1.
Ada kesepakatan terhadap misi tim.
Agar suatu kelompok
dapat menjadi tim dan supaya tim tersebut dapat bekerja dengan efektif, semua
anggptanya harus memahami dan menyepakati misinya.
2.
Semua anggota menaati peraturan tim yang berlaku.
Sebuah tim harus
memiliki peraturan serta kesepakatan terhadap misi dan ketaantan terhadap
peraturan yang berlaku, sehingga dapat membentuk kerangka usaha dalam
pencapaian misi.
3.
Ada pembagian tanggung jawab dan wewenang yang adil.
Tim tidak
meniadakan struktur dan wewenang, tim dapat berjalan dengan baik apabila
tanggung jawab dan setiap anggota diperlakukan secara adil.
4.
Orang beradaptasi terhaddap perubahan.
Dalam lingkungan
bisnis yang dinamis, perubahan bukan saja tak terelakan, tetapi diperlukan
sekali. Agar setiap anggota tim dapat saling membantu dalam beradaptasi
terhadap perubahan secara positif.
Menurut Jhonson,
Kantner, dan Kikora (dalam Goestch dan Davis, 1994), Umumnya tim dapat
diklasifikasikan ketiga jenis, yaitu:
1.
Tim penyempurnaan departement
Tim terdiri atas personil dari unit, departement, atau fungsi
tertentu dalam organisasi dan seringkali disebut juga gugus kualitas (quality
circle).
2.
Tim perbaikan proses
Tim ini memiliki misi untuk melakukan perbaikan terhadap selruh
proses. Oleh sebab itu, tim ini terdiri atas personil dari setiap fase proses.
3.
Gugus tugas (task force)
Gugus tugas seringkali disebut juga tim proyek, yaitu tim
sementara yang dibentuk untuk suatu misi tertentu. Gugus tugas tersebut akan
dibubarkan apabila misi nya telah tercapai.
Faktor Penghambat
Kesuksesan Kerjasama TIM
Orang-orang dalam
suatu kelompok tidak secara otomatis dapat bekerja sama. Seringkali tim tidak
dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Penyebab utamanya adalah faktor
manuasia. Beberapa aspek diantaranya adalah:
·
Identitas pribadi anggota tim
Seringkali orang mengkhawatirkan hal-hal seperti kemungkinan
menjadi outsider, pergaulan
dengan anggota tim lainnya, faktor
pengaruh, dan saling percaya anggota tim. Sebuah tim tidak dapat berjalan
efektif bila anggotanya belum merasa cocok dengan tim tersebut.
·
Hubungan antar anggota tim
Agar
setiap anggota bisa bekerja sama, mereka harus salig mengenal dan hubungan.
Untuk itu dibutuhkan waktu bagi anggota yang berasal dari berbagai latar
belakang tersebut dapat saling membantu dan bekerja sama.
·
Identitas tim di dalam organisasi
Faktor ini terdapat
dua aspek. Pertama, kesesuaian atau
kecocokan tim didalam organisasi. Kedua
adalah pengaruh keanggotaan dalam tim tertentu terhadap hubbungan anggota
diluar tim. Aspek ini sangat penting dalam gugus tugas dan tim proyek, dimana
angota tim tersebut berusaha mempertahankan hubungan yang telah terbina dengan
rekan kerja yang bukan anggota tim.
Kunci Keberhasilan
Kerja Sama TIM
Pembentukan tim
tidak secara otomatis akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sangat
dipelukan usaha untuk faktor-faktor yang dapat menghambat kesuksesan kerja sama
tim, untuk itu paling tidak ada tiga faktor yang saling berkaitan dan
mempengaruhi kinerja serta produktivitas suatu tim, yaitu:
1.
Organisai secara keseluruhan (Budaya):
a. Filosofil
organisasi
b. Penghargaan
(reward) dan bagaimana pengelolaannya
c. Harapan
d. Norma
2.
Tim itu sendiri:
a. Manajemn
pertemuan (meeting management)
b. Peranan
dan tanggung jawab
c. Manajement
konflik
d. Prosedur
operasi
e. Pertanyaan
misi
3.
Para individu anggota tim:
a. Kesadaran
diri (self-awareness)
b. Apresiasi
terhadap perbedaan individual
c. Empati
d. Perhatian
(caring)
King ( dalam
Goetsch dan Davis, 1994) mengajurkan 10 strategi untuk meningkatkan kinerja
setiap tim dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, yaitu:
1.
Saling Ketergantungan
Saling ketergantungan diperlukan diantara para anggota tim dalam
hal informasi, sumber daya, pelaksanaan tugas, dan dukungan. Adanya saling
ketergantungan dapat memperkuat kebersamaan tim.
2.
Perluasan Tugas
Setiap tim harus diberi tantangan, karena reaksi atau tanggapan
terhadap tantangan tersebut akan membentuk semangat persastuan (esprit de
corps), kebanggan dan kesatuan tim.
3.
Penjajaran (alignment)
Anggota tim harus bersedia menyingkirkan sikap individualnya
dalam rangka mencapai misi bersama.
4.
Bahasa yang Umum
Pemimpin tim harus mengusahakan penggunaan bahasa yang umum,
karena biasanya angggota tim berasal dari departement yang berbeda dan memiliki
istilah kata sendiri-sendiri.
5.
Kepercayaan/Respek
Dibuthkan waktu dan usaha untuk membentuk kepercayaan dan respek
agar setiap anggota tim dapat bekerja sama.
6.
Kemimpinan/keanekaragaman yang dibagi Rata
Pemimpin yang baik harus dapat memperhatikan bakat tertentu
setiap anggota tim, sehingga kemimpinan dan keanakbuahan dapat dibagi bersama.
7.
Keterampilan pemecahan masalah
Tim harus banyak menggunakan waktunya untuk membina kemampuan
anggotanya dalam memecahkan masalah,karena masalah merupakan hal yang selalu
dihadapi setiap organisasi.
8.
Keterampilan Menangani konfrontasi/konflik
Dalam lingkungan kkerja yang high
pressure dan kompetitif, konflik merupakan hal yang tidak terelakkan. Oleh
sebab itu, dalam TQS dibutuhkan keterampilan menerima perbedaan pendapat (ide,
masalah, dan pemecahan masalah) dan menyampaikan ketidak setujuan terhadap
orang lain tanpa harus menyakiti hati orang yang bersangkutan.
9.
Penilaian/tindakan
Penilai dilakukan dengan memantau dsn membandingkan apa yang
telah dilakukan dengan pernyataan misi dan rencana tindakan yang ada.
10. Perayaan.
Penghargaan dan pengakuan atas tugas yang terlaksana dengan baik
akan memotivasi
anggota tim untuk bekerja lebih giat dan tegas dalam rangka
mencapai tujuan berikutnya.
Dengan demikian,
kunci pokok keberhasilan kerja sama tim terletak pada harmonisasi dan
kolaborasi antar inddividu, tim, dan organisasi dalam mewujudkan tujuan dan
harapan yang sama. Ini semua bisa digambarkan lewat kepanjangan dari kata TEAM, yaitu Together Everyone Achieves More.
Pemberdayaan: Apa
Dan Mengapa
Selain merupakan
aset organisasi yang paling vital, sumberdaya manusia (karyawan) adalah juga
pelanggan internal yang menentukan kualitas akhir suatu produk/jassa dan
perusahaan. Akan tetapi pada keyataannya masih banyak perusahaan yang
mengeksploitasi karyawannya dan tidak memberikan peluang kepada mereka untuk
berkembang dan berprestasi secaara optimal. Akibatnya, semangat dan moral kerja
sangat rendah, produktivitas rendah, muncul sikap apatis, ketidakpuasan terjadi
dimana-mana, dan seterusnya.
Berdasarkan
berbagai penellitian intensif, para pakar psikologi dan manajemen mengemukakan
solusi berupa pemberdayaan atau empowerment
(Bass, 1994; conger, 1989; Ford dan Fottler, 1995; Stamatis, 1996; wren, 1995).
Secara konseptual,
pemberdayaan adalah supaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada
setiap individual dalam suatu organissi, serta mendorong mereka untuk kreatif
agar dapat merampungkan tugas sebaik mungkin. Karyawan diberi keleluassan untuk
mengambil tindak-tindakan yang dipandang tepat dalam rangka melayani pelanggan,
termasuk menangani keluhan mereka.
Melalui
pemberdayaan karyawan, diharapkan terjadi sharing
of power, dimana bawahan dilibatkan secara bersama-sama dengan pihak
manajemen untuk melakukan perubahan.dengan sense of self-efficacy yang lebih kuat, para karyawaan akan lebih mampu
mengerjakan dan berhasil dalam melakukan berbagai tugas yang menantang.
Menurut Sstamatis
(1996), pemberdayaan dapat ditinjau dari dua presfektif. Pertama, empowerment
dengan ‘e kecil’, yaitu memberdayakan para karyawwan untuk melakukan pekerjaan
mereka, mengambil keputusan yang diperlukan untuk memuaskan tuntutan pelanggan,
dan bekerja dengan ssedikit atau bahkan tanpa penyeliaan. Tipe pemberdayaan ini
memungkinkan setiap anggota tim dalam organisasi untuk melaksanakan tugasnya
secara efektif, melalui penguasaan keterampilan dan kapabilitas, alat/sarana,
dan wewnang untuk memecahkan atau mengatasi maslah yang terjadi.
Sementara itu,
perspektif yang Kedua adalah Empowerment
dengan ‘E besar’ memiliki cakupan yang lebih luas, yakni memberdayakan para
anggota tim untuk melaksanakan dan mengelola kinerja unitnya melalui
perencanaan, pengendalian, pengkoodinasian, atau penyempurnaan pekerjaan. Untuk
bisa mewujudkan tipe pemberdayaan ini, sangat dibutuhkan pelatihan yang tepat
dan intensif.
Secara garis besar,
ada berapa manfaat yang diharapkan dari pemberdayaan karyawan jasa,
diantaranya:
1.
Dapat memberikan respon secara langsung terhadap kebutuhan
pelanggan secara lebih cepat selama penyampaian jasa (service delivery)
2.
Dapatmemberikan respon langsung terhadap pelanggan yang puas
selama service recovery
3.
Karyawan akan memiliki ‘rasa memiliki’ yang tinggi terhadap
pekrjaanya dan merasa dirinya bererti bagi organisasi
4.
Karyawan bisa berinteraksi dengan pelanggan seecara lebih hangat
dan lebih antusias
5.
Karyawan yang diberdayakan dapat menjadi sumer ide jasa/layanan
yang handal
6.
Persahaan bisa mendapatkan iklan dari mulut-ke-mulut (word-of-mouth)yang postif dan pelanggan
yang membeli kembali yang tinggi.
Selain manfaat,
pemberdayaan karyawan jasa juga membutuhkan biaya besar, diantaranya:
1.
Perlu investasi yang lebih besar dalam seleksi dan pelatihan
2.
Biaya tenaga kerja (lobor
costs)
3.
Penyampaian jasa yang lebih lambat atau kurang konsisten
4.
Kemungkinan terjadi persepsi ‘tidak adil’, khusunya bila
pelanggan lainnya, baik dalam hal layanan maupun penanganan keluhan.
5.
Kemungkinan terjadinya pemberian hadiah (giveaways) dan pengambilan keputusan yang tidak tepat atau
terlampau merugikan perusahaan.
Pendekatan
Situasional Dalam Pemberdayaan
Melalui konsep ini,
karyawan diserahi wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar dalam
pengembalian keputusan. Disini dibutuhkan pula komunikasi atau saling tukar
informasi dan pengetahuan antar menejer dan karyawan sehingga karyawan dapat
benar-benar memahami tugasnya dan dapat memberikan kontribusi nyata bagi
pencapaian prestasi organisasi.
Aspek pemberdayaan
sebenarnya bukanlah hal yang sifanya absolut/mutlak, tetapi lebih banyak
merupakan ‘a matter of degree’.
Artinya, tingkat pemberdayaan bagi setiap individu dan tim tidaklah harus sama
porsi atau kadaarnya. Bahkan untuk tugas individual tertentu atau tanggung
jawab kelompok kerja tertentu dalam bidang keputusan (decision area) yang berlainan dapat diberlakukan pemberdayaan
dengan kadar yang berbeda. Pemilihan strategi pemberdayaan yang akan diterapkan
dapat dilakukan dengan mempertimbangkan dua dimensi, yaitu job content mengambarkan tugas dan prosedur yang dibutuhkan untuk
melaksanakan pekerjaan tertentu. Sedangkan job
context menggambarkan kesesuaian antara pekerjaan dengan misi, tujuan, dan
saran organisasi secara keseluruhan. Berdasarkan kedua dimensi ini, terdapat
lima strategi pemberdayaan yaitu:
1.
Point A (No Discretion) menggambarkan tugas yang sangat rutin dan
repeetitif. Karyawan tidak ikut merancang pekerjaan. Pemantauannya pun
diserahkan kepada orang lain. Dengan demikian, tidak terdapat wewenang
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
job content dan job context.
2.
Point B (Task Setting) yaitu karyawaan diberikan tanggung jawab
penuh terhadap keputusan atas job content
dan sedikit tanggung jawab atas job
context. Karyawan diberdayakan dalam membuat keputusan mengenai cara
terbaik untuk merampungkan tugas yang diberikan.
3.
Point C (Participatory Empowerment) dimana karyawan dilibatkan
dalam sebagian pengambilan keputusan atas job
content maupun job context.
Mereka dilibatkan dalam identifikasi masalah, pengembangan alternatif, dan
rekomendasi alternatif dalm job content.
4.
Point D (Mission Defining) dimana karyawan diberdayakan untuk
memutuskan job context saja
5.
Point E (Self-Management) yaitu memberikan wewenang penuh kepada
para karyawan untuk mengambil keputusan mengenai job content dan job context.
Untuk itu dibutuhkan kepercayaan atas kemampuan karyawan untuk menggunakan empowerment tersebut guna meningkatkan
efektivitas organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar